HARIANMERDEKA.ID,Banyuwangi,- Setiap pertandingan apapun bentuk dan namanya, tentu membutuhkan wasit yang dipercayakan sebagai pengadil agar tidak terjadi dukungan pada salah satu pihak yang bertanding. Semua akan diatur secara jujur (fair) agar para kontestan memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi Sang Juara.
Kemenangan demi kemenangan ialah sebuah prestasi bergengsi yang selalu direbutkan dalam tiap pertandingan dan akan tercatat pada suatu peristiwa sejarah.
Untuk itu, peran dunia pendidikan sangat penting dalam membentuk karakter tiap generasi bangsanya.
Bukan sekedar berkompetisi, sebaiknya iklim dunia pendidikan kita juga lebih mempersiapkan bagaimana masyarakat mampu menjawab tantangan zaman terutama dalam situasi yang bagian dari dampak arus globalisasi.
Pedoman negara berdasarkan kontitusi, hendaknya mampu menjelaskan pentingnya dunia pendidikan turut aktif dalam melaksanakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi.
Jika ditinjau dari sisi filosofinya, Pancasila sebagai falsafah bangsa hendaknya menjadi pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mampu terimplementasikan bukan sekedar menjadi hiasan atau dekorasi semata. Toleransi, Gotong Royong, Musyawarah Mufakat, bukanlah barang impor melainkan sebuah corak budaya yang sudah lama mengakar dan tumbuh sejak zaman Nusantara.
Namun, yang terjadi ialah munculnya pergulatan antar ideologi mengenai perebutan kekuasaan dan terus terjadi hanya demi menjaga gengsi konsep ideal bermasyarakat.
Agar terus hidup dan menyala-nyala abadi, maka sebuah ideologi perlu memiliki penganut yang mempercayai bahwa ideologi tersebut merupakan konsep paling ideal dan memang diyakini guna mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Meminjam istilah Pramoedya, di masa arus balik seperti saat ini, masyarakat telah diposisikan untuk bersedia mau tak mau secara tak langsung akan mempelajari dan mengulang kembali kemungkinan terjadinya sejarah di masa lalu. Hanya saja, banyak masyarakat tak mau segera merespon dan melakukan penyadaran. Lebih terkesan untuk sekedar mengikuti arus, meskipun itu tidak sepenuhnya menguntungkan.
Ketika masyarakat sudah mulai sadar dan memiliki kesempatan untuk segera intropeksi, seharusnya mampu untuk segera menganalisis apa saja yang dapat dipersiapkan agar tidak kembali terjebak pada sebuah kegagalan. Pertanyaannya sekarang, apakah dalam menghadapi arus global ini perlu melakukan proteksi atau sudah saatnya untuk berekspansi?
Untuk mengukur kualitas yang dimiliki semestinya peran strategis pemerintah harus cermat dan tanggap menghadapi situasi politik yang sangat dinamis ini. Bagaimanapun juga perang wacana kritis saat ini mulai terkesan redup bahkan semakin kurang mendapatkan ruang bagi peminatnya.
Dalam bayang-bayang rezim global yang lebih kontemporer seperti saat ini, sebaiknya ideologi memang sudah bukan lagi harus dipaksakan untuk bisa diterima oleh masyarakat.
Lebih tepatnya, bahwa ideologi telah dijadikan sebagai konsekuensi yang perlu diterapkan oleh para penganutnya karena bagaimanapun juga setiap ideologi akan diyakini sebagai tatanan nilai hidup yang paling ideal dan tepat bagi para penganutnya.
Lemahnya kemampuan elit dalam melakukan pergulatan ideologi saat ini tentu saja menunjukkan bahwa sebenarnya ada permasalahan besar yang sedang dihadapi suatu bangsa. Banyak komunitas-komunitas yang telah berlomba-lomba hanya untuk mempertontonkan eksistensi identitasnya dibandingkan esensi dari garis perjuangan dalam menjemput cita-cita hidup yang ideal.
Jika tak ada sesuatu yang bias, maka di masa rezim global ini kita akan dipaksakan untuk menyambut sebuah generasi baru yang bisa dinamakan sebagai generasi egaliter. Sebuah kebangkitan etika yang mulai menyadarkan peran dan fungsi masyarakat dalam merespon ketergantungannya pada penciptaan teknologi sebagai media untuk dapat memudahkan berbagai kebutuhannya.
Generasi ini tidak akan lagi sibuk menunjukkan identitas mana yang lebih unggul atau paling benar.
Namun, pentingnya sebuah team work atau kerjasama yang harus dilakukan secara tersadar untuk lebih memprioritaskan adanya kolaborasi dan transparansi kesetaraan masyarakat di tengah rezim global saat ini.
Apabila tingkat kesadaran sudah semakin tinggi, maka persoalan ketergantungan manusia terhadap kemajuan suatu teknologi hanya bersifat eksponensial untuk mengkoordinasikan segala sumber daya yang dimiliki agar mampu menyelesaikan satu masalah dengan masalah yang lain tanpa harus saling mengunggulkan masing-masing komunitas.