![]() | |
|
KOMINFORMA, PACITAN — Menyambung pemberitaan sebelumnya terkait pelaksanaan kampanye Gempur Rokok Ilegal oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Pacitan, sebagaimana disampaikan Kasatpol PP, Ardian Wahyudi (28/7), kegiatan sosialisasi rokok ilegal dilakukan melalui dua jalur, yakni sosialisasi tatap muka secara langsung, serta publikasi melalui media yang pelaksanaannya berada di bawah koordinasi Diskominfo.
Untuk memperoleh informasi lebih lanjut, Kominforma mencoba mengonfirmasi langsung kepada Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Diskominfo Pacitan.
Pertanyaan yang disampaikan mencakup total anggaran yang dikelola Diskominfo untuk publikasi kampanye Gempur Rokok Ilegal tahun 2025, bentuk media yang digunakan, seperti iklan cetak, radio, baliho, media daring, dan video, serta mekanisme kerja sama dengan media.
Selain itu, Kominforma juga menanyakan bagaimana Diskominfo mengukur efektivitas dari publikasi tersebut dan indikator apa saja yang digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan.
Bagus Nurcahyadi Saputro, Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Diskominfo Pacitan, menyebut bahwa pihaknya mengelola anggaran sebesar Rp490 juta untuk publikasi kampanye Gempur Rokok Ilegal pada tahun 2025. “400 juta untuk alokasi induk, 90 juta untuk alokasi PAK,” terangnya melalui pesan tertulis. (29/7)
Anggaran tersebut digunakan untuk membiayai berbagai bentuk publikasi di sejumlah media, baik media cetak, radio, online, serta televisi.
Menariknya, berdasarkan keterangan yang Bagus sampaikan, mekanisme kerja sama media dilakukan bukan melalui lelang terbuka, melainkan penunjukan langsung, skema kontrak melalui e-katalog dan klaim pemberitaan.
Praktik penunjukan langsung semacam ini memang sah dalam kerangka regulasi tertentu. Namun, di tengah meningkatnya anggaran untuk program kampanye tahunan, pertanyaan kritis tetap relevan, apakah hasil yang dicapai benar-benar sebanding dengan biaya yang dikeluarkan?
Terkait efektivitas publikasi, Diskominfo mengklaim mengukurnya berdasarkan peningkatan pengetahuan masyarakat terkait ciri-ciri rokok ilegal serta ancaman hukum bagi yang menjualnya.
“Koridor sosialisasi ada 2, melalui tatap muka (Satpol PP) dan melalui media (Kominfo). Efektivitasnya diukur dari pengetahuan masyarakat terhadap ciri rokok ilegal dan ancaman dan hukuman terkait penjualan rokok ilegal,” ujar Bagus.
Lebih lanjut, Bagus menambahkan bahwa indikator keberhasilan publikasi juga dilihat dari umpan balik warga dan hasil operasi yang minim temuan.
Namun, seperti diberitakan sebelumnya, nihilnya temuan dalam 18 kali operasi justru memunculkan tafsir ganda, apakah ini menandakan keberhasilan publikasi dan sosialisasi, atau sekadar mencerminkan makin cerdiknya distribusi rokok ilegal yang tidak tersentuh operasi?
Hingga kini belum ada survei kuantitatif atau riset independen yang dirilis untuk menguji secara langsung seberapa besar pengaruh kampanye media ini terhadap perilaku masyarakat maupun pedagang. Semua masih bertumpu pada klaim internal dan indikator yang relatif abstrak.
Dengan dana hampir setengah miliar rupiah digelontorkan hanya untuk publikasi, publik layak tahu, informasi apa yang sebenarnya disampaikan, siapa yang paling diuntungkan, dan siapa yang benar-benar terlindungi?
Apalagi jika kampanye ini kembali digelar tahun depan, dengan pola dan narasi yang sama, namun tanpa evaluasi menyeluruh, maka tak menutup kemungkinan akan muncul anggapan bahwa kampanye rokok ilegal ini hanyalah ritual tahunan yang menenangkan kewajiban administrasi, bukan menjawab problem riil di lapangan.