![]() |
Sumber foto : laman resmi pemkab Jepara |
KOMINFORMA, JEPARA – Di tengah lesunya ekonomi daerah dan kebutuhan akan investasi baru, Pemerintah Kabupaten Jepara justru menutup pintu untuk investasi bernilai puluhan triliun rupiah, hanya karena alasan “dawuh kiai”.
Rencana pendirian peternakan babi dengan kapasitas produksi 2–3 juta ekor per tahun akhirnya kandas, setelah Bupati Jepara, Witiarso Utomo, menyatakan tidak akan menerbitkan izin tanpa persetujuan tokoh agama.
“Setiap keputusan kebijakan di Jepara, termasuk soal investasi, harus sejalan dengan dawuh kiai dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)… Tanpa persetujuan dari MUI, NU, dan tokoh agama lainnya, izin tidak akan kami keluarkan,” tegas Wiwit sebagaimana termuat di laman resmi Pemkab Jepara, Senin (4/8/2025).
Padahal, investasi ini menjanjikan pemasukan retribusi sebesar Rp300 ribu per ekor, ditambah program CSR yang diklaim menyentuh banyak sektor. Tapi potensi pemasukan miliaran rupiah per tahun itu ditinggalkan demi mempertahankan citra sebagai “daerah religius”.
Ironisnya, alasan penolakan bukan karena pelanggaran hukum atau kerusakan lingkungan, melainkan karena sensitivitas kultur yang dibiarkan menjadi satu-satunya palu keputusan. Pemerintah tidak hanya menutup pintu, tapi menggemboknya dengan kunci “nilai-nilai religius” yang multitafsir.
Sikap Pemkab ini sejalan dengan rekomendasi PCNU Jepara yang sehari sebelumnya menerbitkan surat keputusan penolakan. Dalam SK bernomor 36/PC.01/A.11.01.03/1416/08/2025, PCNU menegaskan bahwa usaha peternakan babi bertentangan dengan kultur religius masyarakat Jepara.
Surat itu ditandatangani oleh Khayatun Abdullah Hadziq dan jajaran Syuriyah-Tanfidziyah lainnya, serta dikirimkan ke PBNU dan PWNU Jawa Tengah sebagai bentuk koordinasi formal.
Lebih jauh, PCNU bahkan mendesak agar pemerintah lebih kreatif menggali potensi daerah “dari sumber halal dan legal”. Tapi hingga kini, belum tampak rumusan konkret potensi alternatif yang bisa menggantikan nilai investasi yang baru saja ditolak.
Bupati Wiwit pun mengakui nilai tawaran investasi sangat besar. “Investornya menyampaikan bahwa peternakan ini akan mengimpor indukan babi, lalu dibesarkan di Jepara dengan kapasitas 2–3 juta ekor per tahun untuk diekspor. Retribusi untuk Pemkab mencapai Rp300 ribu per ekor dan juga CSR,” ujarnya.
Namun sekali lagi, itu semua dianggap bukan pertimbangan utama. “Jepara adalah daerah yang religius. Kami lebih memilih mendengarkan petuah dan fatwa para kiai agar setiap keputusan tidak melukai nilai-nilai religius masyarakat,” tandasnya.
Kebijakan ini memperkuat satu hal: di Jepara, logika investasi bisa saja kandas jika tidak selaras dengan tafsir religius tertentu. Nilai ekonomi dan manfaat jangka panjang jadi nomor dua. Bahkan ketika pengangguran meningkat dan PAD stagnan, keputusan tetap berpijak pada restu kultural, bukan kalkulasi rasional.