![]() |
Revin Syafi’i | Sekretaris DPC GMNI Pacitan |
KOMINFORMA, PACITAN,— Konsolidasi Nasional dan Ziarah Kebangsaan GMNI yang berlangsung di Blitar pada 21–22 Juni 2025 melahirkan Forum Nasional Komunikasi Persatuan sebagai inisiatif terbuka untuk menyatukan komunikasi lintas cabang menjelang Kongres Persatuan. Kegiatan ini dihadiri oleh ratusan kader dari berbagai daerah dan menjadi sinyal positif atas semangat rekonsiliasi organisasi yang selama ini terjebak dalam dualisme berkepanjangan.
Namun tak berselang lama, muncul pernyataan di beberapa media dari seorang yang mengaku sebagai Ketua DPD GMNI Jawa Timur, menuding kegiatan tersebut sebagai “ritual pencitraan”, “forum tidak sah”, bahkan menyebutnya sarat dengan agenda politik pribadi.
Pernyataan itu langsung direspons oleh Revin Safi’i, Sekretaris DPC GMNI Pacitan, yang ikut hadir dalam forum Blitar dan menyaksikan langsung jalannya kegiatan.
“Kami menolak narasi tunggal soal siapa yang paling persatuan. Faktanya, hari ini justru inisiatif nyata datang dari cabang-cabang yang selama ini dianggap ‘berseberangan’. Kalau dulu memang ada keputusan Rapimnas Yogyakarta yang belum menyetujui Kongres Persatuan, maka forum Blitar adalah koreksi atas keberanian politik yang mulai tumbuh. Itu bukan pengingkaran, tapi bentuk pertumbuhan kedewasaan berorganisasi,” tegas Revin. (27/6)
Menurut Revin, narasi bahwa hanya satu kubu yang konsisten mendorong persatuan merupakan klaim sepihak yang tidak sesuai kenyataan di lapangan.
“Forum ini tidak mengklaim otoritas. Kami tidak membentuk BPK, tidak menunjuk calon, tidak menciptakan DPP bayangan. Kami hanya menghidupkan kembali harapan. Kalau menyebut ini pencitraan, berarti kita telah kehilangan keberanian untuk mendengar suara kader di bawah,” tambahnya.
Menanggapi isu yang menyebut forum Blitar membentuk Badan Panitia Kongres (BPK), Revin dengan tegas membantah:
“Tuduhan itu sepenuhnya tidak benar. Tidak ada BPK yang dibentuk. Yang kami hasilkan adalah Forum Nasional Komunikasi Persatuan, yang bersifat informal dan terbuka sebagai jembatan komunikasi antar-cabang,” jelas Revin.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa tuduhan itu hanyalah bentuk kekhawatiran dari pihak yang merasa terganggu dengan munculnya semangat baru dari bawah.
“Kalau forum diskusi antarcabang dianggap pelanggaran, maka kita sedang menuju organisasi yang anti-dialog,” tambahnya.
Terkait tuduhan yang menyebut forum Blitar dimanfaatkan sebagai panggung pencalonan Sekretaris Jenderal GMNI, Revin menyebut tuduhan tersebut keji dan tak berdasar.
“Tudingan itu tidak hanya ngawur, tapi juga jahat,” tegas Revin. “Saya hadir dari awal sampai akhir forum, tidak ada satu pun sesi pembahasan nama calon apalagi pengukuhan. Kalau hari ini ada nama-nama yang disebut, itu murni spekulasi liar yang dilambungkan oleh pihak yang takut kehilangan kendali.”
Revin menegaskan bahwa isu pencalonan pribadi adalah pengalihan isu untuk memecah perhatian publik dari substansi forum.
“Bung Karno bukan hanya teks, tapi teladan keberanian berpikir. Kita datang bukan untuk selfie di pusara, tapi untuk menghidupkan kembali keberanian moral yang telah lama dilupakan oleh elit-elit organisasi,” ujarnya.
Ia pun menggarisbawahi bahwa forum Blitar justru menjadi contoh bahwa keberanian untuk menyatukan GMNI bisa tumbuh dari pihak yang dulu dicap keras kepala.
“Hari ini justru yang dulu dicap keras kepala, kini punya nyali untuk menciptakan jalan tengah. Ini bukan kemunduran, tapi bentuk keberanian untuk mengakui bahwa konflik harus diakhiri bersama. GMNI harus kembali menjadi rumah ideologis, bukan panggung klaim legalitas,” tegasnya.
Penutupnya pun menyampaikan pesan penting tentang urgensi menghidupkan kembali semangat kolektif dari bawah, bukan sekadar menunggu prosedur dari atas.
“Kalau kita hanya menunggu DPP sepakat secara administratif, maka persatuan akan selamanya jadi ilusi. Forum Blitar hadir sebagai jembatan, bukan penentu akhir. Tapi ia penting sebagai keberanian awal,” pungkasnya.
Catatan Redaksi:
Kominforma memandang penting untuk memberi ruang bagi semua pihak. Redaksi tetap membuka ruang hak jawab bagi pihak-pihak yang merasa perlu memberikan klarifikasi, tanggapan ataupun bantahan, sebagai wujud komitmen pada transparansi dan prinsip demokrasi.