Kalila

Kalila

Data BPS Ungkap Fakta: Jepara Sudah Produksi Babi Sejak Lama, Tapi Baru Ribut Sekarang?

Redaksi
8 Agu 2025, 21:43 WIB Last Updated 2025-08-08T14:49:02Z


KOMINFORMA, JEPARA – Di tengah polemik penolakan investasi peternakan babi di Jepara, data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah justru menampilkan ironi yang tak bisa diabaikan, bahwa Kabupaten Jepara ternyata sudah menjadi salah satu produsen daging babi di provinsi tersebut. 

Menurut BPS, sepanjang 2024 Jepara menghasilkan 1.956 kilogram daging babi, naik dari tahun sebelumnya yang tercatat 1.870 kilogram. Meski angkanya tergolong kecil dibandingkan Kota Pekalongan (1,3 juta kg) dan Kabupaten Sukoharjo (520 ribu kg), fakta bahwa babi sudah eksis dan dipelihara secara legal di Jepara menimbulkan pertanyaan besar, mengapa baru sekarang ramai-ramai ditolak? 

Populasi babi di Jepara pun mengalami peningkatan. Dari 234 ekor pada 2023, menjadi 237 ekor pada 2024. Secara keseluruhan, Jawa Tengah memiliki populasi ternak babi sebesar 48.526 ekor. 

Data ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa kehadiran babi bukanlah fenomena baru di wilayah ini. Bahkan, Jepara tercatat secara resmi sebagai salah satu daerah penghasil daging babi, walau dalam skala kecil. 

Namun, alih-alih menyikapi data tersebut secara rasional, gelombang penolakan justru semakin menguat. Salah satu landasan penolakan yang digunakan adalah fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang disebut-sebut menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan pemerintah daerah. 

Menanggapi hal ini, Ketua MUI Jawa Tengah Ahmad Darodji mengakui bahwa fatwa larangan memang baru muncul belakangan ini, menyusul permintaan dari masyarakat. 

“Belum ada keluhan masyarakat. Kami terlambat, ya, boleh saja. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” ujar Darodji. 

Pernyataan tersebut menimbulkan tafsir berlapis. Jika fatwa hanya muncul saat ada keluhan masyarakat, bagaimana dengan keberadaan peternakan babi yang sudah berjalan selama ini tanpa protes? Apakah artinya selama ini publik tutup mata, atau pemerintah tutup data? 

Darodji juga menyatakan, jika ada daerah lain yang mengajukan permintaan serupa, maka MUI akan memberikan fatwa yang sejalan. “Jika ada daerah lain yang memiliki peternakan babi dan juga meminta fatwa, maka lembaga kami akan mengeluarkan seruan serupa,” lanjutnya. 

Pernyataan ini mempertegas bahwa respons lembaga keagamaan masih bersifat reaktif, bukan preventif. Artinya, selama tidak ada tekanan dari masyarakat, eksistensi peternakan babi dianggap tak perlu dipersoalkan. 

Sementara itu, pemerintah daerah Jepara belum memberikan tanggapan resmi atas temuan data BPS ini. Padahal, dengan jumlah produksi dan populasi yang sudah tercatat, publik berhak tahu, apakah kebijakan penolakan peternakan babi benar-benar soal menjaga nilai-nilai religius, atau justru bentuk inkonsistensi administratif? 

Di tengah semangat menolak investasi baru atas nama “nilai lokal”, faktanya, Jepara diam-diam sudah menjadi bagian dari rantai produksi daging babi nasional.
Komentar

Tampilkan