![]() |
peternakan babi modern | sumber foto : wikipedia |
KOMINFORMA, JEPARA – Penolakan Pemerintah Kabupaten Jepara terhadap rencana investasi peternakan babi berskala besar menuai reaksi. Kali ini, kritik datang dari seorang akademisi lokal yang enggan disebutkan namanya, menyayangkan keputusan yang dinilai terlalu bergantung pada pertimbangan normatif keagamaan semata.
“Negara atau pemerintah daerah boleh mendengar aspirasi masyarakat, termasuk tokoh agama, tapi tidak serta-merta menjadikan satu tafsir keagamaan sebagai satu-satunya dasar menolak investasi. Itu berisiko mempersempit ruang kebijakan yang seharusnya bersifat objektif dan inklusif,” ujarnya kepada Kominforma, Jum’at (8/8).
Menurutnya, keberadaan fatwa atau penolakan dari organisasi keagamaan seperti MUI dan NU penting, tapi bukan menjadi hukum positif yang mengikat. Pemerintah tetap memiliki tanggung jawab konstitusional untuk mengelola potensi ekonomi daerah berdasarkan prinsip keadilan dan kepentingan publik, bukan semata-mata selera religius kelompok mayoritas.
“Kalau semua investasi harus mendapat restu kultural, maka pertumbuhan ekonomi akan stagnan. Kita tidak sedang bicara soal babi sebagai simbol, tapi soal bagaimana kebijakan diambil. Apakah berdasarkan logika kepentingan publik, atau ketakutan melukai sensitivitas sebagian kelompok,” tambahnya.
Sebelumnya, Bupati Jepara, Witiarso Utomo, menegaskan bahwa Pemkab tidak akan mengeluarkan izin peternakan babi jika tidak ada persetujuan dari MUI, NU, dan para tokoh agama.
“Setiap keputusan kebijakan di Jepara, termasuk soal investasi, harus sejalan dengan dawuh kiai dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tanpa persetujuan dari MUI, NU, dan tokoh agama lainnya, izin tidak akan kami keluarkan,” ujar Bupati Wiwit, Senin (4/8/2025).
Akademisi tersebut menilai pendekatan semacam ini membingungkan. Di satu sisi, pemerintah membuka pintu investasi, namun di sisi lain, memberi syarat yang lebih bersifat doktrinal daripada teknokratik.
“Investasi ini rencananya untuk ekspor. Dagingnya tidak akan dijual di pasar-pasar tradisional Jepara. Tidak ada pelanggaran hukum, tidak ada potensi kerusakan lingkungan. Yang ditakutkan hanya persepsi bahwa ini babi, padahal fungsi pemerintah adalah mengedukasi, bukan sekadar mengakomodasi rasa,” bebernya.
Ia juga mengingatkan bahwa prinsip negara Pancasila menjamin kebebasan berusaha dan perlindungan terhadap semua pihak, termasuk mereka yang mungkin tidak sejalan dengan arus kultural mayoritas.
“Kalau suatu saat Jepara butuh pemasukan daerah, lalu tak ada investor yang berani masuk karena takut dibatalkan dengan dalih kultural, siapa yang bertanggung jawab?” Singgungnya.
Menutup wawancara, ia menggarisbawahi pentingnya menempatkan agama sebagai inspirasi etika, bukan sebagai palu keputusan.
“Fatwa itu panduan moral, bukan produk hukum. Pemerintah harus punya keberanian untuk mengambil keputusan berdasarkan data, bukan tekanan. Kalau tidak, kita tidak sedang membangun daerah, kita hanya sedang menyenangkan sebagian orang,” pungkasnya.